Ridwan menambahkan bahwa partai politik tetap memiliki keleluasaan untuk mencalonkan tokoh dengan latar belakang pendidikan tinggi.
"Apabila syarat pendidikan paling rendah/minimum adalah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat, maka kandidat… tidak hanya terbatas pada kandidat yang hanya tamat sekolah menengah atas/sederajat, melainkan juga kandidat yang telah menempuh atau menamatkan pendidikan tinggi," ujarnya.
MK juga menegaskan bahwa pengaturan terkait pendidikan adalah kebijakan hukum terbuka yang menjadi wewenang penuh pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), dan dianggap sah selama tidak bertentangan dengan konstitusi.
Mahkamah menutup dengan memberi ruang bagi perubahan di masa depan.
Jika suatu saat dianggap perlu, DPR dan Presiden dapat meninjau ulang syarat pendidikan capres dan cawapres sesuai dengan dinamika dan perkembangan bangsa.
Keputusan ini menegaskan kembali prinsip inklusivitas dalam sistem demokrasi Indonesia, sekaligus membuka kembali perdebatan mengenai pentingnya pendidikan formal versus kapasitas kepemimpinan dalam konteks politik.(*)