Sulawesinetwork.com – Harapan untuk melihat syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden dinaikkan menjadi minimal sarjana (S1) pupus.
Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Artinya, syarat pendidikan minimal untuk pimpinan negara ini tetap pada level lulusan SMA atau sederajat.
Baca Juga: Tragedi di SMAN 6 Garut: Gubernur Jabar Nonaktifkan Kepsek, Investigasi Dugaan Perundungan Dimulai
Permohonan ini diajukan oleh Hanter Oriko Siregar dan Horison Sibarani, yang berargumen bahwa kepemimpinan negara membutuhkan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi.
Namun, dalam sidang pleno yang digelar pada Selasa, 17 Juli 2025, di Ruang Sidang MK, keputusan bulat pun dibacakan.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa Pasal 169 huruf r adalah bagian dari persyaratan kumulatif yang sah secara konstitusional dalam UU Pemilu.
Ia menyoroti bahwa UUD 1945 sendiri tidak secara eksplisit mengatur batas minimum pendidikan untuk capres dan cawapres, sehingga pengaturannya melalui undang-undang dianggap sebagai bentuk delegasi yang sah.
"Pengaturan lebih lanjut melalui undang-undang merupakan bentuk delegasi konstitusional yang sah," jelas Ridwan.
Mahkamah juga berpandangan bahwa menaikkan syarat pendidikan menjadi S1 justru akan membatasi hak warga negara yang hanya memiliki ijazah SMA untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden.
Padahal, menurut MK, warga negara dengan pendidikan SMA sekalipun bisa saja memiliki kapasitas dan dukungan rakyat yang mumpuni untuk memimpin.