"Lapisan kedua adalah intelektualitas. Mahfud MD pasti lulus,” imbuhnya.
Mahfud menanggapi pengakuan itu dengan senyum. Ia sempat mengira Rocky hanya bergurau.
Kendati demikian, baginya cerita tersebut memperlihatkan sahabatnya itu memandang politik dengan perspektif idealisme, meski berbeda dari realitas politik praktis.
Kritik Terhadap Qodari di KSP
Baca Juga: Polres Bulukumba Klarifikasi Isu Tebang Pilih Penanganan Kasus Penganiayaan
Di sisi lain, terdapat kritik Rocky terhadap penunjukan Qodari menjadi KSP. Kritikus itu lalu memperlihatkan keresahannya pada arah pemerintahan setelah kebijakan Reshuffle Kabinet Merah Putih pada awal September 2025.
Rocky menilai, keputusan pengangkatan Qodari menggantikan Hasan Nasbi justru mencederai semangat demokrasi, seraya menyebut Qodari yang dikenal sebagai pengusul wacana tiga periode Jokowi, disebutnya membawa beban sejarah anti-demokrasi.
“Qodari itu orang kedua lho, di Amerika itu kepala staf presiden orang kedua. Sekarang pertanyaannya, kenapa seorang yang anti-demokrasi, memanipulasi konstitusi dengan tiga periode berdasarkan survei semata-mata, diangkat jadi KSP,” sindir Rocky.
Baca Juga: 1.000 Koperasi Merah Putih Siap Cairkan Pinjaman Modal Tahap Pertama
Persahabatan dan Kritik sebagai Cermin Demokrasi
Meski keras dalam kritik, Rocky tetap menunjukkan sisi personal yang hangat dalam persahabatannya dengan Mahfud.
Pada saat bersamaan, sikap kritisnya terhadap pemerintah menggambarkan konsistensi seorang intelektual yang tidak segan menentang kebijakan ketika dianggap melenceng dari prinsip demokrasi.
Hingga kini, dan di tengah hiruk-pikuk politik nasional yang sering kali menyisakan kontroversi, kisah persahabatan Rocky dan Mahfud memberi warna lain.
Keduanya menunjukkan perbedaan pandangan di ruang publik tak selalu berakhir dengan permusuhan. Justru di balik panggung, mereka saling menghormati dan saling mengapresiasi. (*)