"Langkah mengusir seperti itu bisa menjadi preseden buruk bagi kemerdekaan pers di Indramayu dan nasional," imbuh Hilman. Ia menekankan pentingnya musyawarah dalam setiap keputusan publik,
"Setiap keputusan publik harus berbasis musyawarah. Ini tidak bisa serta-merta main surat pengusiran. Mana penghargaan terhadap profesi wartawan? Harusnya dibangun dialog untuk mencari solusi bersama."
Baca Juga: Kluivert Tak Gentar! Indonesia Siap Hadapi Arab Saudi dan Irak di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Jawa Barat, Ahmad Syukri, bahkan menduga kebijakan pengosongan ini sarat dengan kepentingan tertentu.
Ia melihat adanya keterkaitan dengan konflik internal yang sedang terjadi di tubuh PWI.
"Kita paham soal aset, tapi ini dilakukan di tengah konflik di internal PWI. Kenapa baru sekarang ada perintah pengosongan, kenapa tidak dari dulu? Ada motif apa?" tanyanya.
Baca Juga: Lisa Mariana Akui Video Syur, Tegaskan Tak Sadar dan Minta Polisi Tindak Penyebar!
Syukri menyoroti surat edaran PWI Provinsi Jawa Barat Nomor 829/PWI-JB/VI/2025 tanggal 10 Juni 2025 yang mengingatkan semua kepala daerah untuk bersikap netral selama proses rekonsiliasi PWI berlangsung.
"Ini mencederai semangat persatuan di tubuh PWI. Padahal kita ketahui bersama bahwa saat ini tengah berjalan proses rekonsiliasi. Bahkan sudah ada kesepakatan tentang pelaksanaan 'Kongres Persatuan' tanggal 30 Agustus nanti. SC dan OC juga sudah dibentuk dan sudah bekerja mempersiapkan pelaksanaan kongres. Seharusnya semua pihak menahan diri untuk tidak melakukan manuver-manuver yang malah memperkeruh suasana," tegasnya.
PWI Jawa Barat mendesak Pemkab Indramayu untuk mengaji ulang kebijakan pengosongan gedung Graha Pers. Pembukaan ruang dialog dianggap sebagai langkah yang lebih elok dan elegan untuk menghindari kegaduhan dan dampak yang lebih luas antara pemerintah dan pers di daerah.(*)