"Produk Amerika yang ke Indonesia, mereka tidak membayar apa-apa untuk itu, tidak ada tambahan (tarif). Orang Amerika yang akan membayarnya."
Narasi resmi yang menyebut kesepakatan ini sebagai upaya untuk "meningkatkan ekspor Amerika ke Indonesia" kini terdengar hampa di telinga banyak warga.
Baca Juga: Andi Ina Kartika: Muswil IPHI Sulsel Harus Jadi Momentum Ukhuwah, Bukan Perpecahan
Mereka tak peduli dengan angka ekspor jika pada akhirnya, setiap kali mereka membeli sehelai kaus dari Indonesia atau furnitur dari sana, mereka harus membayar lebih.
Beban tarif ini, yang seharusnya ditujukan pada importir, pada akhirnya akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga yang melambung tinggi.
Mengapa tarif 19 persen ini begitu mengkhawatirkan? Sederhananya, tarif adalah pajak atas barang impor.
Meskipun seringkali dicitrakan sebagai "pelindung" industri domestik, dalam praktiknya, beban tarif bisa menjadi pedang bermata dua.
Ketika tarif diberlakukan, ada beberapa skenario yang mungkin terjadi, dan kebanyakan di antaranya berakhir dengan konsumen yang menanggung beban:
* Harga Mencekik Konsumen: Inilah skenario terburuk yang dikhawatirkan Nick. Importir di AS, yang harus membayar tarif 19%, kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produk Indonesia di toko-toko AS. Akibatnya, kopi, tekstil, atau kerajinan tangan dari Indonesia akan terasa 19% lebih mahal di kasir Anda.
Baca Juga: Skandal Pengusiran Wartawan di Indramayu: PWI Ciayumajakuning Kecam Keras Pembungkaman Kritik!
* Produsen Asing Terpukul (Atau Tidak): Ada kemungkinan produsen Indonesia mencoba menyerap sebagian biaya tarif dengan memotong keuntungan mereka agar tetap kompetitif. Namun, ini seringkali hanya solusi jangka pendek dan sulit dipertahankan, terutama untuk usaha kecil.
* Daya Beli Tergerus: Pada akhirnya, kenaikan harga berarti daya beli konsumen Amerika menurun. Dengan pendapatan yang sama, mereka hanya bisa membeli lebih sedikit barang, atau harus mengalokasikan lebih banyak uang untuk kebutuhan yang sama. Ini bisa memicu inflasi mikro di sektor-sektor tertentu.
Dalam kacamata politik, kesepakatan dagang ini mungkin terlihat seperti kemenangan – membuka pasar baru bagi produk AS, mempererat hubungan bilateral.