Sulawesinetwork.com - Masih segar dalam ingatan publik bagaimana Dedi Mulyadi, dengan mata berkaca-kaca, menertibkan lahan di kawasan Puncak Bogor.
Tangisnya bukan sekadar emosi sesaat, melainkan manifestasi dari penghormatan mendalam terhadap alam, warisan leluhur yang kini terancam.
Mantan Bupati Purwakarta itu kembali menyentil para "sultan" yang gemar plesiran ke alam, namun ironisnya, turut andil dalam kerusakannya.
Baca Juga: Restu Sang Nenek: Fuji Punya 'Naluri Keibuan', Lampu Hijau untuk Verrell Bramasta!
"Gunung, laut, air, angin, itu adalah 'ibu' kita semua," tegas Dedi, dalam kunjungan kerjanya di Kuningan, Jawa Barat, seperti dilansir dari kanal YouTube Lembur Pakuan Channel, Minggu (4/5/2025).
Nada bicaranya sarat akan keprihatinan, menyiratkan luka yang mendalam akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Bagi Dedi, yang memahami betul filosofi Sunda dan Jawa, gunung bukanlah sekadar bentang alam.
Baca Juga: Sinergi Kuat Demi Toleransi, DPRD dan Pemkab Bulukumba Gelar Rapat Koordinasi Lintas Sektor
Ia adalah entitas sakral, sumber kehidupan yang harus dijaga. "Gunung membuat mata air yang menghidupi mereka, jadi apabila ada perusakan alam, sesungguhnya mereka tidak sadar, sedang menyakiti dirinya sendiri," ujarnya.
Sentilan Dedi pun mengarah tajam pada fenomena "wisata alam sultan". Banyak orang berduit, termasuk oknum pejabat, yang gemar menghabiskan waktu di gunung dan laut, seolah mencari pelarian dari hiruk-pikuk kota.
Namun, di balik kemewahan perjalanan mereka, tersembunyi ironi: mereka justru menjadi bagian dari masalah.
"Sekarang, banyak orang kaya pergi ke gunung dan laut. Kenapa? karena sebenarnya mereka sedang rindu dengan ibunya. Siapa ibunya? Gunung dan lautan," ungkap Dedi, mencoba membuka kesadaran para penikmat alam.
Dedi mengajak semua pihak, tanpa memandang status sosial, untuk merenungkan kembali hubungan mereka dengan alam.