Yang juga mendesak adalah jalur lanjutan. Anak-anak yang kembali belajar melalui Sekolah Rakyat perlu kepastian: apakah bisa masuk kembali ke sekolah formal, dilatih vokasi, atau disertifikasi keterampilannya. Tanpa ini, Sekolah Rakyat bisa menjadi ruang transit yang menggantung, namun bukan jembatan yang utuh.
Diperlukan rancangan kebijakan yang terintegrasi antara Kemensos, Kemendikbudristek, pemerintah daerah, dan komunitas pendidikan alternatif. Tanpa koordinasi, program ini rawan tersendat di simpang birokrasi.
Kita sudah terlalu sering melihat inisiatif baik melemah begitu angin politik berganti. Sekolah Rakyat harus hidup melampaui musim kekuasaan.
Baca Juga: Richard Lee Ulurkan Tangan, Siap Jadi Jembatan Damai Aldy Maldini dengan Para Penggemar
Model seperti ini sejatinya bukan hal baru. Komunitas seperti Sanggar Senja, Sanggar Anak Akar, atau Sekolah Lentera Anak telah lama bekerja di ruang ini, meski dengan keterbatasan sumber daya.
Sekolah Rakyat, karena hadir atas nama negara dan kekuatan anggaran, punya peluang besar untuk melampaui mereka semua—asal digarap dengan kesungguhan. Pemerintah perlu belajar banyak dari model-model yang sudah ada tersebut.
Sesungguhnya, anak-anak itu tidak pernah meminta lahir dari rahim kemiskinan. Mereka hanya ingin tumbuh, belajar, dan dihargai sebagai warga negara. Masa depan republik diletakkan di pundak mereka—tanpa pernah ditanya, siapkah mereka?
Akhirnya, ketika negara turun tangan lewat Sekolah Rakyat, sejatinya yang dilakukan bukan cuma menyediakan guru, papan tulis dan kursi, tetapi juga pengakuan: bahwa anak-anak itu ada, bahwa mereka penting.
Jika republik ini masih punya cita-cita, biarlah ia tumbuh lebih dulu di mata anak-anak yang selama ini luput dari pandangan. (*)