Sekolah ini menerapkan pendekatan individual, berbasis pembelajaran yang kontekstual dan fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan lokal namun tetap berpedoman pada kurikulum pendidikan nasional.
Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai menara gading, melainkan sebagai ruang belajar yang akrab dan membumi.
Namun Sekolah Rakyat tentu bukan sekadar kelas darurat. Ia juga menjadi ruang pemulihan—bagi luka sosial dan psikologis yang lama tersembunyi.
Baca Juga: Maia Estianty Gerah Dituding Settingan Indonesian Idol, Judika Bongkar Fakta di Balik Layar
Banyak anak merasa malu dan takut kembali ke sekolah formal. Sekolah Rakyat memberi jalan masuk yang lebih bersahabat. Dengan pendekatan yang dilakukan, program ini berupaya mengurangi hambatan sosial yang sering kali menghalangi anak-anak untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut menekankan pentingnya program ini: “Kita bahkan membuat Sekolah Rakyat untuk masyarakat miskin. Ini yang sekarang sedang digodok dan akan ditingkatkan,” (15 Maret 2025).
Menurutnya, pelaksanaan Sekolah Rakyat bertujuan memberikan pendidikan bagi anak-anak miskin, sehingga pemerintah terus mematangkan rencana ini.
Dari ruang pemulihan ini, akan muncul dampak-dampak yang bisa diukur, yang menunjukkan Sekolah Rakyat bukan hanya sekedar angan-angan.
Program ini didesain untuk mengurangi jumlah anak yang tidak sekolah, membuka jalan menuju pendidikan formal atau pelatihan kerja, serta menumbuhkan kembali rasa percaya bahwa negara hadir di tengah masyarakat.
Namun seperti benih yang baru tumbuh, semua ini masih rentan. Tanpa sistem yang kuat, program ini bisa layu di tengah jalan. Tantangan besar menanti: dari pendanaan, kualitas pengajar, kesinambungan program, hingga keterpaduan dengan sistem pendidikan nasional.
Baca Juga: Terobosan Pertahanan Negara: Wacana 'Jaksa Pertahanan' Sinergikan Kejaksaan dan TNI
Salah satu tantangan terberatnya adalah menjaga kualitas. Meskipun program ini dirancang dan dijalankan oleh pemerintah, pelaksanaannya tersebar di banyak lokasi dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Akan ada tempat yang mungkin berkembang pesat karena dukungan sumber daya dan pengajar yang memadai, tapi ada juga yang bisa terseok karena hambatan teknis atau lemahnya koordinasi.
Di sinilah negara harus hadir bukan sekadar sebagai penggagas, tapi juga sebagai pengawal mutu di setiap titik pelaksanaan.