Jepang, negara yang dikenal memiliki kesadaran asuransi yang relatif tinggi, pun tak luput dari dampak badai ekstrem.
Topan Shanshan yang menerjang dengan intensitas tinggi hanya menghasilkan klaim asuransi di bawah US$1 miliar.
Baca Juga: TNI Jaga Kejaksaan, DPR Angkat Bicara: Penjelasan Tegas Harus Segera Diberikan!
Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah terdampak tidak memiliki cakupan perlindungan yang memadai untuk menghadapi bencana sekuat itu.
Filipina bahkan mengalami mimpi buruk dengan dihantam enam badai secara beruntun dalam kurun waktu 30 hari saja.
Lebih dari 13 juta penduduk terdampak, dan kerugian yang ditimbulkan mencapai US$500 juta.
Lagi-lagi, rendahnya kepemilikan asuransi membuat masyarakat harus menanggung sendiri kerugian finansial yang sangat besar.
Kondisi memprihatinkan ini ternyata juga dirasakan di Indonesia.
Industri asuransi umum di Tanah Air mengalami tekanan yang sangat berat sepanjang tahun 2024, yang berujung pada penurunan laba setelah pajak yang sangat signifikan.
Baca Juga: Skandal di Sekolah Dasar Depok: Guru Diduga Lecehkan Belasan Siswi, Langsung Dinonaktifkan!
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan betapa terjalnya penurunan ini.
Jika pada tahun 2023 laba setelah pajak industri asuransi umum masih mencatatkan angka positif sebesar Rp7,80 triliun, maka di tahun 2024 situasinya berbalik 180 derajat menjadi rugi Rp10,14 triliun. Sebuah kemerosotan yang mencapai 197,8 persen!
Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, menjelaskan bahwa penurunan laba yang drastis ini sangat dipengaruhi oleh melemahnya hasil underwriting serta lonjakan cadangan premi dan cadangan klaim.
Baca Juga: 'Progress X' IFG: Panggung Inspirasi Perempuan Karier, Seimbangkan Sukses Profesional dan Personal!