Dalam pernyataan resminya, Trump dengan tegas menyatakan bahwa kebijakan tarif ini bertujuan ganda: memberikan insentif bagi perusahaan AS untuk memindahkan produksi kembali ke dalam negeri, meningkatkan pendapatan pemerintah federal, sekaligus sebagai alternatif pengganti pajak penghasilan.
"Negara kita dan para pembayar pajaknya telah ditipu selama lima puluh tahun, tetapi hal itu tidak akan terjadi lagi," tukas Trump dengan nada penuh keyakinan.
Namun, di balik retorika "America First" ala Trump, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat ancaman serius bagi perekonomian Indonesia.
Baca Juga: Nokia N75 Max: Smartphone Idaman dengan Kamera 200MP dan Performa Kelas Atas!
Ia memperingatkan bahwa tarif 32 persen ini berpotensi memicu resesi ekonomi pada kuartal IV 2025 serta secara signifikan mengurangi volume ekspor Indonesia ke AS dan bahkan negara-negara lain.
Lebih lanjut, Bhima memaparkan dampak buruk lain yang patut diwaspadai:
- Ancaman Sektor Otomotif dan Elektronik: Tarif yang tinggi akan membuat harga produk otomotif dan elektronik Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, yang berpotensi menurunkan drastis permintaan.
- Gelombang PHK: Produsen otomotif di Indonesia dikhawatirkan akan kesulitan mengalihkan produksi ke pasar domestik akibat perbedaan spesifikasi produk, yang pada akhirnya dapat berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
- Penurunan Pertumbuhan Ekonomi: Celios memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,08 persen akibat anjloknya ekspor di sektor industri padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil.
Baca Juga: Lebaran Sudah Usai Tapi THR Pekerja Belum Kunjung Dibayar
"Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah order atau pemesanan ke pabrik Indonesia. Sementara di dalam negeri, kita bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja, dan China karena mereka incar pasar alternatif," jelas Bhima, menggambarkan persaingan sengit yang akan dihadapi Indonesia.
Kini, pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk mempertahankan daya saing industri dalam negeri di tengah pusaran tekanan perdagangan global yang semakin kompleks dan, tampaknya, dipenuhi aroma "balas dendam" dari kebijakan proteksionis Donald Trump.(*)