Sulawesinetwork.com - Hari Raya Idulfitri dan perayaan besar agama lainnya di Indonesia kerap menjadi momen yang dinanti oleh para narapidana.
Pasalnya, mereka berkesempatan mendapatkan remisi khusus, atau pengurangan masa tahanan yang diberikan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Baca Juga: Waspada! Modus Penipuan Bantuan Donasi Catut Nama Gubernur Andi Sudirman
Namun, kebijakan pemberian remisi ini memicu kontroversi, terutama bagi narapidana kasus korupsi. Banyak pihak menilai bahwa pelaku kejahatan luar biasa ini tidak pantas menerima keringanan hukuman, termasuk peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah.
“Rasanya tidak pantas bagi seorang koruptor yang telah menyalahgunakan kewenangan, menyia-nyiakan amanah, dan merampas uang negara, lalu mendapatkan remisi. Ini soal kepantasan!," Herdiansyah Hamzah.
Korupsi: Kejahatan Luar Biasa yang Butuh Hukuman Setimpal
Herdiansyah menegaskan bahwa tindak pidana korupsi bukan sekadar kejahatan biasa, melainkan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa.
Oleh karena itu, penyelesaiannya pun harus dilakukan dengan pendekatan yang khusus dan tegas, termasuk dalam pemberian hukuman.
Ia menilai bahwa pemberian remisi bagi koruptor justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Jika koruptor tetap diberikan keringanan hukuman, maka sulit untuk menciptakan efek jera yang sebenarnya.
“Dalam usaha memberikan hukuman yang setimpal bagi koruptor, mestinya mereka tidak diberi remisi. Itu adalah bagian dari upaya luar biasa dalam memberantas korupsi,” tambahnya.
288 Koruptor Dapat Remisi di Idulfitri 1446 H