Soekarno memandang fenomena 'demam' musik Barat ini sebagai bagian dari kekuatan neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim) yang dapat menggerogoti kedaulatan budaya Indonesia.
Sebagai respons, beliau membentuk The Lensoist sebagai wadah untuk mempopulerkan kembali seni tradisional Indonesia, khususnya musik lenso, sebagai tandingan pengaruh Barat.
Dalam upaya memperkenalkan kekayaan seni budaya Indonesia ke kancah internasional, Titiek Puspa bersama anggota The Lensoist lainnya kerap kali mendampingi lawatan kenegaraan Soekarno ke berbagai negara, mulai dari Amerika Serikat (AS), Belanda, hingga Prancis.
Di sana, mereka tampil memukau dalam pertunjukan musik lenso, memukau para penonton dengan keunikan dan keindahan seni tradisional Indonesia.
Sayangnya, upaya mulia untuk membesarkan musik lenso dan seni tradisional lainnya perlahan meredup seiring dengan transisi kekuasaan ke era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Kebijakan ‘De-Soekarnoisasi’ yang gencar dilakukan oleh rezim Orde Baru secara sistematis menghapus segala hal yang berkaitan dengan Soekarno, termasuk gerakan di bidang budaya yang pernah beliau inisiasi.
Kini, Titiek Puspa telah berpulang. Namun, jejak langkahnya sebagai seorang seniman yang gigih memperjuangkan identitas budaya bangsa, bahkan di masa popularitasnya setara dengan bintang-bintang dunia seperti The Beatles, akan terus dikenang.
Kisahnya adalah pengingat akan pentingnya memiliki pahlawan seni yang berani berdiri di garda terdepan pelestarian warisan budaya di tengah gempuran pengaruh asing. Selamat jalan, Eyang Puspa. Karya dan dedikasimu akan selalu abadi.(*)