Sulawesinetwork.com - Dunia olahraga lari sedang diguncang fenomena unik sekaligus kontroversial ditengah masyarakat.
Di platform pelacak aktivitas olahraga Strava, muncul tren baru di mana pengguna rela membayar orang lain untuk berlari atas nama mereka hanya demi memamerkan catatan waktu dan jarak tempuh yang mengesankan di media sosial.
Padahal, Strava dikenal sebagai aplikasi favorit pelari untuk memantau progres latihan, mencatat rekor pribadi, hingga bersaing di papan peringkat komunitas. Namun kini, semangat sportivitas itu mulai tergerus oleh budaya pencitraan digital.
Baca Juga: DPRD Bulukumba Siapkan Agenda Paripurna Pidato Kenegaraan, Rapat Bamus Putuskan Perubahan Jadwal
Fenomena ini dijuluki strava jockey atau joki strava istilah untuk seseorang yang disewa guna menyelesaikan rute atau lomba menggantikan pemilik akun asli.
Hasil lari tersebut kemudian diunggah seolah-olah dilakukan oleh sang pemilik akun, tanpa mereka harus berkeringat sedikit pun.
"Sayangnya, pengaruh media sosial membuat sebagian orang mencari jalan pintas untuk terlihat hebat di mata publik," tulis The Running Week dalam laporannya, Selasa (12/8/2025).
Baca Juga: Pengambilalihan Tanah Rakyat yang Nganggur Cuma Bercanda, Menteri ATR Minta Maaf
Tekanan untuk Tampil Prima di Dunia Digital
Bagi sebagian orang yang sibuk, cedera, atau kehilangan motivasi, menyewa joki strava dianggap solusi cepat untuk tetap eksis. Terlebih, perlombaan virtual dan tantangan online sering menawarkan hadiah atau pengakuan publik.
Namun, tren ini memunculkan pertanyaan etis. Lari adalah olahraga yang menjunjung kerja keras dan pencapaian pribadi. Memalsukan capaian berarti merusak esensi olahraga dan menurunkan keadilan kompetisi di Strava.
Baca Juga: Politikus Golkar Ini Akui Sulit Dapat Uang Halal sebagai Anggota DPR
Kisah Nyata dari Indonesia
Fenomena ini juga sudah merambah Indonesia. Salah satu contohnya datang dari seorang remaja 17 tahun berinisial S, pemilik akun Strava @Satzzyy. Ia mematok tarif: