Sulawesinetwork.com - Dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan langkah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti yang berencana menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA).
Keputusan ini sontak menuai kritik tajam dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang menilai kebijakan tersebut tergesa-gesa dan tanpa landasan kajian yang matang.
Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, dengan tegas menyatakan bahwa kebijakan penghapusan penjurusan yang merupakan bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka masih tergolong "seumur jagung".
Baca Juga: Wagub Fatmawati Tekankan Humanisme Satpol PP, Luwu Utara Sabet Juara Defile di Apel Siaga Sulsel
Menurutnya, dampak dan efektivitas kurikulum yang baru diterapkan pada tahun ajaran 2024/2025 (dan secara de facto sejak 2021/2022 di beberapa sekolah) ini belum dievaluasi secara menyeluruh.
"Menghidupkan kembali jurusan IPA/IPS terkesan tanpa kajian matang," cetus Satriwan Salim dalam keterangannya, Senin (14/4/2025).
Seperti diketahui, sistem penjurusan yang selama ini menjadi ciri khas SMA resmi dihapuskan melalui Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024.
Baca Juga: Mendagri Dorong Pemda Gunakan BTT untuk Wujudkan Kopdes Merah Putih, Ini Alasannya
Kebijakan ini merupakan bagian dari gagasan Menteri Pendidikan sebelumnya, Nadiem Makarim, yang bertujuan memberikan keleluasaan siswa dalam memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat mereka.
P2G menyayangkan langkah Kemdikdasmen yang terburu-buru mengubah kembali struktur kurikulum yang tengah berjalan.
Satriwan menekankan pentingnya memberikan waktu transisi dan evaluasi yang memadai sebelum mengambil kebijakan strategis yang berdampak besar pada dunia pendidikan.
"Paling cepat butuh waktu 6 tahun untuk menilai efektivitas implementasi kurikulum. Kemdikdasmen hendaknya membuat kajian akademik terlebih dulu yang melibatkan semua stakeholder pendidikan dengan meaningful participation, sebelum membuat kebijakan strategis," tegasnya.
Kondisi ini, menurut Satriwan, mau tidak mau memunculkan anggapan publik bahwa "ganti menteri ganti kebijakan".