Sulawesinetwork.com – Bali Barat tak hanya memukau dengan hamparan alamnya yang menawan, tetapi juga menyimpan "harta karun" sejarah yang tak kalah menarik: Puri Agung Negara.
Berdiri megah di Banjar Tengah, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, bangunan bersejarah ini menjadi saksi bisu perjalanan panjang Kota Negara, menawarkan pengalaman napak tilas ke masa lalu yang kental dengan nuansa kolonial Belanda.
Bagi para pelancong yang ingin menyelami lembaran sejarah Bali, Puri Agung Negara adalah destinasi wajib. Anda akan disambut oleh warisan arsitektur bergaya Eropa yang masih kokoh berdiri, memancarkan aura kebesaran masa lampau.
Baca Juga: NasDem Desak Kepastian Hukum untuk Guru Honorer: Bukan Tenaga Kerja Kelas Dua!
Uniknya, untuk merasakan pengalaman ini, Anda tak perlu merogoh kocek untuk tiket masuk.
Puri Agung Negara menerapkan sistem donasi sukarela, membuka pintunya lebar-lebar bagi siapa saja, baik dewasa maupun anak-anak, yang berhasrat menjelajahi keindahan dan kisah di dalamnya.
Puri Agung Negara bukan sekadar bangunan tua biasa. Tempat ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, lantaran dulunya merupakan kediaman Anak Agung Bagus Sutedja, Gubernur Bali pertama.
Baca Juga: Operasi Patuh Pallawa 2025 Dimulai di Bulukumba: Perhatikan 7 Jenis Pelanggaran Ini
Dari sinilah, banyak keputusan krusial di masa awal pemerintahan Bali modern dirumuskan, menjadikannya pusat dinamika politik dan sosial pada era tersebut.
Namun, akar sejarah Jembrana jauh lebih dalam. Berdasarkan temuan arkeologis, wilayah ini telah dihuni sejak 6.000 tahun lalu.
Nama "Jembrana" sendiri diyakini berasal dari istilah "Jimbar Wana", yang berarti "hutan belantara", tempat bersemayamnya naga raja – sosok mitologis yang hidup dalam cerita rakyat setempat.
Baca Juga: Perpadi Bulukumba Dikukuhkan: Tonggak Harapan Baru dan Jembatan Emas Pengusaha Penggiling Padi
Mitos dan cerita rakyat inilah yang membentuk tradisi lisan yang kuat, menjadi fondasi bagi terbentuknya sistem kerajaan.
Dari sinilah lahir struktur kekuasaan, simbol-simbol pusaka yang sakral, hingga pembangunan keraton sebagai pusat pemerintahan tradisional.