Nepotisme dalam jabatan publik, di mana kursi strategis diberikan ke kerabat politikus.
Pembangunan stagnan, membuat frustrasi warga yang merasa masa depan mereka dirampok.
“Pembangunan tidak berjalan karena para politisi menyimpan semua uang di saku mereka. Masa depan kita hancur,” kata Darshana Padal, warga Kathmandu yang turun ke jalan.
Baca Juga: Tingkatkan SDM, PUPR Sinjai Gelar Pelatihan dan Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi
Sistemik, Bukan Sekadar Figur
Bagi aktivis sipil Dovan Rai, lengsernya dua pucuk pimpinan negara tidak cukup. “Masyarakat sudah bertahun-tahun frustrasi dengan korupsi, nepotisme, dan janji-janji palsu. Ini bukan sekadar soal pemimpin mundur, tapi perubahan sistem,” tegasnya.
Dengan kata lain, gejolak ini mencerminkan krisis kepercayaan mendalam terhadap elite politik.
Krisis Baru Pasca Mundurnya Pemimpin
Baca Juga: Gubernur Sulsel Terima Kunjungan Menko Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra
Kini, publik menunggu langkah transisi politik: siapa yang akan memimpin pasca Oli dan Paudel? Apakah militer akan memperluas peran? Atau justru gerakan rakyat akan menuntut pemilu dini?
Yang jelas, dua isu utama—korupsi dan kebebasan digital—telah menjadi senjata baru yang mempersatukan generasi muda Nepal.
Gejolak ini bisa jadi awal sebuah babak baru: antara pembaruan demokrasi, atau justru spiral instabilitas yang lebih dalam. (*)