Sulawesinetwork.com - Di sebuah kampung kecil yang dikelilingi sawah dengan siulan angin yang mencumbu pucuk-pucuk dedaunan, suara mesin penggilingan padi tak lagi seramai dulu.
Tapi dari sebuah bangunan tua yang temboknya mulai digerogoti waktu, masih terdengar suara yang setia bergema meski sesekali tersendat.
Itu suara mesin milik Pak Mamat, lelaki bernama lengkap Rahmat Hidayat, pewaris penggilingan padi yang dulu pernah jadi kebanggaan kampungnya.
Baca Juga: Ancaman Istana Menggema: Bansos Bakal Dicabut Bagi Pemain Judi Online, Data Rp957 Miliar Jadi Bukti!
Orangtuanya adalah penggiling padi terbaik dan terbesar di daerah barat Kota Bulukumba pada dekade 70 hingga 90-an.
Pada masa itu, usaha mereka bukan hanya soal beras itu adalah denyut hidup petani.
Namun ketika roda zaman bergulir ke dekade 2000-an, satu per satu penggilingan kampung mulai tumbang seiring arah angin kebijakan yang beralih, pun tak terkecuali milik orangtua Pak Mamat.
Baca Juga: Ahmad Dhani Buka-bukaan: Bantah KDRT ke Maia, Ngaku Pernah Dilempar Remote TV!
Bangunan perlahan kosong, mesin-mesin tua terdiam, dan kenangan pun terkubur debu.
Tapi Pak Mamat bukan lelaki yang mudah menyerah. Dalam diam, ia terus memungut serpihan warisan itu.
Sedikit demi sedikit, dengan tabungan seadanya, ia mengganti baut, memperbaiki fan dan menambal atap bocor.
Baca Juga: Harga Mahal Tiket Final Piala Presiden: Oxford United Dihantam Badai Cedera, Ole Romeny Jadi Tumbal!
Mesin yang sempat mati suri itu kembali bersuara. Tak sekencang dulu, tapi cukup untuk menyambut gabah-gabah petani yang masih percaya pada tangan sendiri.
Meski begitu, ada satu kegundahan yang belum terobati. Anak-anak muda kampungnya masih enggan belajar.