nasional

Dinamika Program Makan Bergizi Gratis: Antara Kritik, Usulan, dan Komitmen Pemerintah

Senin, 22 September 2025 | 09:50 WIB
Istana buka suara terkait usulan DPR mengganti MBG jadi uang tunai. (indonesia.go.id)

Sulawesinetwork.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan publik. Digagas untuk meningkatkan gizi anak-anak usia dini, terutama di sekolah, program ini sejatinya menyasar kebutuhan dasar kesehatan generasi muda. Namun, implementasi di lapangan tidak selalu berjalan mulus.

Sejumlah pihak menilai skema makanan siap santap yang dibagikan kepada siswa masih menyisakan persoalan. Anggota DPR RI Charles Honoris misalnya, mengusulkan agar program ini dialihkan menjadi bantuan tunai.

Menurutnya, bantuan langsung kepada orang tua siswa akan lebih efektif. Selain menekan risiko makanan tidak layak konsumsi akibat rantai distribusi yang panjang, skema tunai dinilai memberi keleluasaan keluarga memastikan kualitas gizi anak.

Baca Juga: Mengulik Kata Menkeu Purbaya yang Sebut Rencana Kurangi Tarif Subsidi Listrik Tanpa Naikkan Harga

Charles bahkan menyoroti dugaan adanya “dapur fiktif” dalam pelaksanaan MBG, yang disebut muncul akibat lemahnya pengawasan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP).

“Kalau orang tua yang menyiapkan sendiri, kualitas gizi dan keamanan makanannya lebih bisa dipastikan,” tegas Charles.

Meski kritik mengemuka, pemerintah melalui Mensesneg Prasetyo Hadi menegaskan skema saat ini—makanan siap santap—masih menjadi pilihan terbaik.

Baca Juga: Pemerintah Tetapkan 17 Hari Libur Nasional dan 8 Hari Cuti Bersama Tahun 2026

“Konsep yang sekarang dijalankan itulah yang dianggap pemerintah terbaik untuk saat ini,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (19/9/2025).

Prasetyo mengakui adanya catatan teknis seperti distribusi dan pengawasan, namun menegaskan pemerintah terus melakukan evaluasi dan perbaikan.

Beberapa masalah yang terus diperdebatkan antara lain:

Baca Juga: Polsek Ujungloe Gelar Patroli Cipkon, Antisipasi Gangguan Kamtibmas di Bulukumba

  • Distribusi panjang: makanan dimasak sejak dini hari, sampai ke sekolah menjelang siang, sehingga rawan kontaminasi.
  • Pengawasan lemah: dugaan “dapur fiktif” menjadi tanda bahaya soal transparansi.
  • Risiko gizi tak terukur: anak-anak bisa saja mendapat porsi yang tidak sesuai kebutuhan.

Pemerintah berargumen bahwa skema makanan siap santap memberi kontrol lebih baik terhadap pemerataan gizi, sekaligus memastikan semua anak mendapat asupan setara.

“Bahwa masih ada catatan-catatan, ya betul kita akui. Dan akan kita terus berkomunikasi untuk memperbaiki,” tambah Prasetyo. (*)

Tags

Terkini

Asuransi, Pilar Proteksi di Tengah Cuaca Ekstrem

Jumat, 12 Desember 2025 | 12:35 WIB