Menurut Ridwan, perbedaan penanganan ini telah menyebabkan kekeliruan dalam memaknai kewenangan antara Bawaslu dan KPU. Padahal, secara struktural kelembagaan, KPU dan Bawaslu sama-sama merupakan penyelenggara pemilu.
MK berpandangan bahwa penanganan pelanggaran administrasi pilkada yang dilakukan Bawaslu hanya akan bersifat formalitas jika hasil akhirnya bukan putusan, melainkan hanya rekomendasi.
Hal ini karena proses hukum yang dilakukan Bawaslu tidak akan memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga: Beasiswa Cendekia Baznas 2025 Resmi Dibuka! Peluang Emas untuk Mahasiswa Berprestasi
"Dalam hal ini, oleh karena penanganan sengketa administratif dalam penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden oleh Bawaslu memiliki kekuatan mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti, dengan telah diposisikan sama untuk semua rezim pemilihan, maka pelanggaran administrasi pilkada yang ditangani Bawaslu pun harus memiliki kekuatan hukum mengikat yang sama, dan KPU wajib menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan Bawaslu sehingga tidak perlu dikaji ulang oleh KPU/KPU provinsi/KPU kabupaten/kota atau sebutan lainnya," jelas MK.
Lebih lanjut, MK juga mengingatkan DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang untuk segera menyelaraskan semua dasar pengaturan pemilu dan merevisi UU Pemilu serta Pilkada.
Baca Juga: Cegah Kriminalitas Malam Hari, Patmor Polres Bulukumba Gelar Patroli Rutin di Lokasi Rawan
"Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu segera merevisi atau melakukan perubahan undang-undang yang berkenaan dengan pemilu, khususnya harmonisasi substansi hukum pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden dengan substansi hukum pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, termasuk juga pengaturan penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu," tutur MK.
Upaya penyelarasan ini diharapkan tidak hanya mencegah dualisme pengaturan yang berpotensi tumpang-tindih, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta setara bagi seluruh warga negara dalam menggunakan hak politiknya, terutama dalam mewujudkan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. (*)