Sulawesinetwork.com – Fenomena sound horeg, yang identik dengan deretan speaker raksasa dan dentuman bass menggelegar, telah menjadi tren hiburan populer di berbagai daerah di Indonesia.
Kemeriahan yang disuguhkan tak jarang dilengkapi efek visual mencolok, menarik perhatian banyak warga.
Namun, di balik semaraknya, muncul pula gelombang pro-kontra yang signifikan, memicu kekhawatiran akan dampak kebisingan ekstrem terhadap kesehatan dan kenyamanan publik.
Baca Juga: Bulukumba Bergerak Cepat: Banggar DPRD Godok Perubahan Anggaran 2025 Demi Pembangunan Prioritas
Keresahan ini bukan tanpa alasan. Suara super keras dari sound horeg dianggap mengganggu ketenangan, bahkan dikhawatirkan dapat menyebabkan masalah pendengaran permanen.
Polemik ini memunculkan perdebatan sengit antara upaya pelestarian hiburan rakyat di satu sisi, dan hak masyarakat atas lingkungan yang tenang serta perlindungan kesehatan di sisi lain.
Menanggapi polemik ini, dr. Fikri Mirzaputranto, seorang Spesialis THT dari Rumah Sakit Universitas Indonesia, angkat bicara.
Baca Juga: Protes Jalan Rusak, Warga Bontotiro Tanam Pohon Pisang di Tengah Jalan
Ia menekankan pentingnya menjaga jarak aman dari sumber suara yang terlalu keras.
"Pertanyaannya adalah bagaimana melindungi orang yang tidak berhubungan langsung dengan kesenian tersebut (sound horeg)," ujar Fikri dalam program Catatan Demokrasi di YouTube tvOneNews, Selasa (22/7/2025).
"Tentu harus ada jarak. Yang paling simpel adalah jarak," tegasnya.
Baca Juga: Jokowi Hadiri Pemeriksaan Kasus Ijazah Palsu di Solo, Kuasa Hukum Bantah Alasan Sakit
Menurut dr. Fikri, semakin jauh seseorang dari sumber suara, semakin kecil intensitas suara yang diterima.
Dalam konteks sound horeg yang bisa menghasilkan tingkat kebisingan fantastis hingga 130 desibel (dB), Fikri menyarankan jarak aman yang cukup mengejutkan.