Mahfud menilai proses fit and proper test di DPR tidak lagi menjamin objektivitas karena sarat kepentingan dan potensi ‘jual beli jabatan’.
Menurutnya, praktik semacam itu justru menurunkan kualitas pejabat yang dihasilkan dan membuka ruang penyimpangan lebih luas.
Sorotan Dugaan Titipan dalam Rekrutmen
Dalam kesempatan yang sama, Mahfud MD juga membeberkan adanya dugaan praktik titipan dalam proses penerimaan anggota Polri.
Mahfud menyebut, jatah penerimaan taruna Akademi Kepolisian (Akpol) kerap disisihkan untuk pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan pejabat tertentu.
“Orang mau masuk Polri jatahnya 100 orang, rakyatnya cuma dapat 10. Yang lain tuh sudah dibagi ke pejabat,” ujar Mahfud.
Baca Juga: Tagline Okesi Barru Menggema di Lemhannas: Simbol Optimis, Kolaboratif, dan Sinergi
“Misalnya Kapolri untuk jatah penerimaan ini, misalnya, mendapat 30 persen. Lo kok banyak banget? Iya, polisi kan dapat titipan dari DPR, Menteri, temannya, temannya,” lanjutnya.
Pernyataan tersebut menjadi sorotan publik karena membuka kembali diskursus lama mengenai transparansi dan integritas dalam tubuh kepolisian.
Mahfud menilai praktik tersebut mencerminkan adanya penyimpangan dalam sistem rekrutmen yang seharusnya berbasis merit dan profesionalitas.
Desakan Reformasi dan Perbaikan Sistem
Mahfud MD mendorong agar pemerintah dan institusi Polri segera melakukan reformasi menyeluruh untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Dia juga menilai langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem rekrutmen, promosi jabatan, serta pengangkatan pimpinan agar bebas dari praktik titipan dan transaksi politik.(*)