Janji pun terucap untuk melunasi sisa pembayaran dalam beberapa tahap ke depan.
"Akhirnya tadi malam sudah dikirim Rp 200 juta. Komitmennya, beliau akan membayar 300 juta rupiah di awal, dan sisanya akan diselesaikan dalam beberapa termin pembayaran," lanjut Eka, memberikan sedikit kelegaan dalam ketegangan yang ada.
Baca Juga: Dihadapan Menteri Kehutanan, Gubernur Andi Sudirman Komitmen Wujudkan Revolusi Hijau di Sulsel
Namun, pedang Damocles masih tergantung. Total pembayaran sebesar Rp 850 juta harus dilunasi dalam jangka waktu tiga bulan ke depan.
Jika Atalarik gagal memenuhi kewajiban tersebut, PT Sapta tak segan-segan untuk kembali mengirimkan alat berat dan meratakan bangunan yang telah berdiri kokoh itu.
"Jika tidak dilunasi sesuai tenggat waktu, kami berhak melakukan pembongkaran lagi," Eka memperingatkan, menyisakan ketidakpastian di balik kelegaan sesaat.
Baca Juga: Kapolri-Mentan Panen Raya Jagung di Bone, Dukung Program Ketahanan Pangan Nasional
Sengketa lahan yang menjadi akar dari drama ini ternyata telah berlangsung sejak tahun 2015, sebuah luka lama yang kembali menganga.
Atalarik bersikeras bahwa ia telah membeli tanah seluas 7.000 meter persegi secara sah pada tahun 2000.
Namun, ironisnya, putusan Pengadilan Negeri Cibinong pada tahun 2016 justru menyatakan bahwa transaksi pembelian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sebuah pukulan telak bagi sang aktor.
Meskipun demikian, Atalarik tak menyerah. Ia tetap berkeyakinan bahwa proses hukum masih bergulir dan belum mencapai putusan inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Bahkan, ia sempat melakukan protes keras terhadap tindakan pembongkaran yang nyaris terjadi, lantaran merasa belum ada keputusan final dari pengadilan.
Pertanyaan besar kini menggantung di udara: mampukah Atalarik melunasi sisa pembayaran dan mengakhiri mimpi buruk ini, ataukah buldoser akan kembali mengancam istananya?(*)