Kasus lainnya adalah kampanye Omnibus Law dengan tagar “Indonesia Butuh Kerja”. Sejumlah influencer yang ikut mempromosikan akhirnya meminta maaf karena mengaku tidak paham isi kebijakan.
Hal ini menunjukkan influencer rawan jadi alat propaganda tanpa dasar pengetahuan yang mumpuni. Adapun sebuah penelitian internasional yang membuktikan influencer bukanlah solusi untuk digunakan sebagai melakukan agenda politik.
Riset Internasional: Influencer Bukan Solusi
Baca Juga: Tiga Duta Wisata Sinjai Siap Berlaga di Tingkat Provinsi Sulsel 2025
Riset Pew Research Center tahun 2024 di Amerika Serikat menunjukkan hanya 20 persen warga yang rutin mendapat berita dari influencer. Bahkan sebagian besar influencer tidak punya latar belakang jurnalistik.
Artinya, meski mereka populer, kualitas informasi yang mereka sebarkan sering kali diragukan. Hal yang sama bisa terjadi di Indonesia jika pemerintah pada akhirnya dinilai terlalu bergantung pada mereka.
Lantas, mengapa media massa dinilai dapat lebih dipercaya masyarakat ketimbang influencer di media sosial? Hal ini berkaitan dengan kredibilitas standar berita media jurnalistik.
Baca Juga: Pemkab Sinjai Serahkan Mobil Damkar Baru untuk Sektor Barat
Media Bisa Jaga Demokrasi
Selain soal kredibilitas, media juga berperan penting dalam menjaga ruang demokrasi. Dengan menghadirkan informasi berimbang, media membantu publik memahami kebijakan negara secara utuh.
Jika pemerintah hanya mengandalkan influencer, ruang kritik bisa tergerus karena narasi publik dikendalikan oleh buzzer yang dibayar. Itu sebabnya, banyak akademisi mengingatkan agar Presiden kembali pada pola komunikasi klasik yang melibatkan media.
Baca Juga: Sekda Sulsel Buka Rakor Reforma Agraria 2025: Sinergi, Kolaborasi, dan Percepatan Pemenuhan Target
Melihat kritik, data, dan pengalaman buruk masa lalu, jelas menunjukkan buzzer bukan jalan keluar. Presiden Prabowo perlu hadir lebih sering di media massa, menjawab kegelisahan rakyat dengan fakta dan solusi.
Di sisi lain, media massa juga memiliki mekanisme verifikasi dan standar jurnalistik, jauh lebih mampu menjaga kepercayaan publik.
Pada akhirnya, sebagian publik menilai sudah saatnya Presiden Prabowo meneguhkan pilihan untuk merangkul media massa yang terbukti kredibel dan menjadi rumah besar bagi rakyat. (*)