Mereka juga melepas hewan ternak, biasanya ayam dan kambing.
Pendaki yang beruntung dapat menangkap ayam tersebut untuk dikonsumsi.
Baca Juga: Buka Hari Ini, Pendaftaran CPNS dan PPPK 2023 Belum Dapat Dilakukan. Akankah Ditunda Lagi?
Lalu bagaimana sejarah asal usul gunung Bawakaraeng dijadikan sebagai kepercayaan tempat berhaji?
Ada beberapa riwayat tumbuh di masyarakat perihal asal-usulnya.
Salah satunya, puncak gunung tersebut dipercaya jadi tempat Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, pemuka agama asal Gowa-Tallo yang termahsyur hingga Afrika Selatan pernah berjumpa dan berguru pada Walisongo.
Ia juga dianjurkan melaksanakan perintah haji, yang kemungkinan kemudian disalah pahami sebagai fatwa pelaksanaan ibadah haji cukup di Bawakaraeng saja (Panji Masyarakat, Edisi 19, 1998).
Di sini, Bawakaraeng bertindak sebagai "representasi" Mekkah.
Lebih jauh, Syarifuddin Idris dalam makalahnya Konstruksi Ritual Ibadah Haji Pada Masyarakat Sekitar gunung Bawakaraeng Kabupaten Gowa, mengemukakan anggapan masyarakat lokal bahwa Gunung Bawakaraeng lebih utama dari Makkah.
Pandangan demikan rupanya dianggap sakral lantaran bersinggungan dengan kepercayaan lama, terkhusus agama Patuntung.
Ada cerita versi lain yang mengatakan, pada masa lampau ada seseorang yang sangat ingin naik haji, lalu dia mendapatkan bisikan untuk mendaki puncak Bawakaraeng sebagai ganti hajinya.
Menyangkut legenda keyakinan pergi haji, cukup dengan mendaki Gunung Bawakaraeng. Kemudian salat Id dan berkurban di atas puncak Bawakaraeng.
Namun banyak pula yang berujar bila kebiasaan ini sudah ada sejak zaman lampau, dimulai saat seseorang mendapat wangsit dari mimpi.
Safri, warga Kabupaten Gowa mengaku, tradisi penganut keyakinan mistik di Sulawesi Selatan ke Gunung Bawakaraeng jelang Idul Adha bukan lagi hal baru.
Melainkan tradisi ini sudah turun temurun bagi masyarakat lokal di Gowa dan kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan.(*)