Sementara itu, nasib guru honorer lebih memprihatinkan, dengan gaji yang seringkali jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Kesenjangan ini jelas menunjukkan bahwa beban kerja dan penghargaan terhadap profesi guru belum seimbang.
Juliyatmono juga menyoroti alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN yang dinilai belum sepenuhnya efektif dalam memenuhi kebutuhan fundamental, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan guru.
"Spending anggaran dua persen (dari PDB) saya kira bisa menjangkau itu, karena sekarang masih tersebar di mana-mana, tidak fokus," kritiknya.
Pendidikan Sebagai Kunci Pemutus Rantai Kemiskinan
Lebih lanjut, Juliyatmono menekankan peran krusial pendidikan sebagai jalan utama untuk memutus rantai kemiskinan. Beliau merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa keluarga dengan tingkat pendidikan minimal S1 cenderung terhindar dari kemiskinan.
Baca Juga: Terungkap! Inilah 10 Negara Paling Korup di Dunia, Nomor 1 Sudah Bisa Ditebak?
Sebaliknya, tingkat pendidikan yang rendah berkorelasi erat dengan tingkat kemiskinan yang lebih ekstrem.
Dengan adanya pembahasan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Juliyatmono berharap agar kebijakan pendidikan nasional ke depan benar-benar menempatkan guru sebagai garda terdepan dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul.
Baca Juga: Forbes Bocorkan Daftar Atlet Terkaya 2025: Ronaldo di Puncak, Messi Tersingkir?
"Guru adalah fondasi peradaban. Tanpa penghargaan yang layak, kita tak bisa berharap banyak dari sistem pendidikan," pungkas politisi Fraksi Partai Golkar ini, menyuarakan harapan besar bagi masa depan guru dan pendidikan di Indonesia.
Usulan ini tentu menjadi bahan perenungan yang menarik dan diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju perubahan yang lebih baik bagi para pahlawan tanpa tanda jasa ini.