Angka ini hampir sama dengan India (75 persen) dan Pakistan (72 persen). Ketiga negara itu menunjukkan kecenderungan yang serupa, yakni terkait adopsi teknologi melaju cepat, sementara perlindungan bagi pekerja dinilai masih terbatas.
Menilik dari sisi yang lain, para pekerja di negara maju justru terlihat lebih tenang menghadapi gelombang AI.
Responden di Jerman, misalnya, hanya 34 persen yang menilai ada kemungkinan pekerjaannya digantikan, sementara mayoritas 66 persen merasa relatif aman.
Baca Juga: Festival Pinisi Bulukumba Target Pecahkan Rekor MURI Minum Kopi Gula Aren Peserta Terbanyak
Jepang, bahkan menunjukkan tingkat kekhawatiran terendah. Hanya 5 persen responden di Negeri Sakura yang merasa “pasti” akan kehilangan pekerjaan karena AI.
“Jepang menonjol dengan tingkat kepastian terendah terhadap risiko otomatisasi, menunjukkan kepercayaan tinggi pada sistem kerja mereka,” demikian isi studi GPO-AI.
Dengan hasil survei ini, menunjukkan ketakutan terhadap AI bukanlah isu global yang dinilai sama oleh setiap negara.
Baca Juga: Menguak Utang BLBI BCA ke Negara: Saham Dijual Rp10 Triliun, RI Tanggung Rugi Rp78 Triliun
Terdapat dimensi ekonomi, budaya, hingga kebijakan tenaga kerja yang mempengaruhi cara orang memandang teknologi.
Pada akhirnya, terkhusus bagi Indonesia, hasil survei tersebut bisa menjadi alarm. Kendati hanya larut dalam kecemasan, pekerja perlu mulai menyesuaikan keterampilan yang sesuai kebutuhan zaman.(*)