Alih-alih terkesan dengan animasi makhluk tanpa kepala yang bergerak aneh hasil algoritma AI, Miyazaki justru menunjukkan ketidaknyamanannya.
Ia bahkan menyebut para pengembang AI tersebut tidak memahami nilai kehidupan dan seni, melabeli teknologi semacam itu sebagai sesuatu yang "menyedihkan".
Kini, tren gambar Ghibli hasil AI di ChatGPT kembali memantik perdebatan sengit, tak hanya soal etika dan nilai seni, tetapi juga mengenai hak cipta.
Di Jepang, undang-undang memang memperbolehkan penggunaan karya seni berhak cipta untuk melatih AI, dengan tujuan mendukung inovasi teknologi.
Namun, para ahli hukum mengingatkan bahwa jika hasil kreasi AI terlalu mirip dengan karya aslinya, potensi pelanggaran hak cipta tetap mengintai.
Bagi Miyazaki, isu ini jauh melampaui ranah hukum. Ia melihat tren ini sebagai ancaman terhadap nilai fundamental seni itu sendiri.
Sebagai seorang seniman yang telah mencurahkan hidupnya untuk menciptakan animasi yang kaya akan jiwa dan emosi, Miyazaki berdiri teguh pada keyakinannya bahwa kreativitas manusia takkan pernah tergantikan oleh kecerdasan buatan.
Gelombang popularitas filter AI Ghibli di media sosial Indonesia mungkin terlihat menyenangkan bagi sebagian orang.
Baca Juga: Wamenaker Beri Kepastian tentang Kabar Sritex yang Akan Diambil Alih Danareksa
Namun, di mata seorang legenda seperti Hayao Miyazaki, tren ini justru terasa pahit, sebuah ironi yang merendahkan esensi dari karya-karya abadi yang telah ia ciptakan dengan sepenuh hati.
Perdebatan tentang peran AI dalam seni, tampaknya, baru saja dimulai.(*)