Sehingga membuat mereka kehabisan tenaga sebelum sampai di tempat tujuan.
Untuk mengatasi masalah itu, para wanita mencoba mencari solusi untuk perbekalan pelaut dan perantau.
Mereka mulai memasak beras ketaan yang terbungkus daun pisang kemudian direbus agar tidak cepat basi.
Baca Juga: Siapa RBS yang Disebut MAKI Sebagai Penyandang Dana Korupsi Timah Suami Sandra Dewi
Akhirnya pada hari itu, lahirlah masakan baru sebuah lontong santan berbentuk pipih khas sulawesi selatan.
Aroma daun pisang, garam dan santan menyatu dalam beras yang membuat burasa menjadi lebih gurih dibandingkan dengan ketupat.
Mengikat burasa juga punya seni dan butuh keterampilan, istilahnya yaitu Massio' burasa.
Burasa mewakili tali silaturahmi yang diperkuat menjelang idul fitri.
Tali itu juga menjadi simbol ikatan batin antara perantau dan keluarganya.
Maka itulah sebabnya saat mengikat burasa ikatannya harus kuat.
Setinggi apapun sekolahmu, pulanglah mengikat burasa.
Maknanya sejauh apapun kita melangkah, jangan pernah lupa keluarga dan adat budaya di kampung halaman.
Sejak kecil dulu, tali burasa telah mengikat hati, tersimpul mati, wujudkan jiwa petarung sejati demi bakti untuk orang tua yang tak terganti.
Adapun filosofi dari burasa itu sendiri yaitu penyatuan dan solidaritas supaya bisa membentuk nilai sipakatau (saling menghargai), sipakalebbi' (saling memuliakan) dan sipakainge' (saling mengingatkan) dalam keluarga dan kehidupa sosial.(*)