ragam

Fenomena 'Kumpul Kebo' Meningkat di Indonesia, Wilayah Timur Jadi Sorotan Utama

Senin, 30 Juni 2025 | 10:20 WIB
Ilustrasi fenomena kumpul kebo. (Istimewa/suara.com)

Sulawesinetwork.com - Fenomena 'kumpul kebo', atau pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, menunjukkan peningkatan di berbagai wilayah Indonesia. Data terbaru mengindikasikan bahwa praktik ini paling banyak terjadi di kawasan Indonesia Timur.

Sebelumnya, The Conversation melaporkan bahwa maraknya fenomena kumpul kebo ini disebabkan oleh pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan.

Banyak anak muda kini memandang pernikahan sebagai hal normatif dengan aturan yang rumit. Sebagai gantinya, mereka melihat 'kumpul kebo' sebagai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta.

Baca Juga: Kemenkeu Klarifikasi Penunjukan Marketplace sebagai Pemungut PPh: Bukan Pajak Baru, Hanya Geser Mekanisme!

Di wilayah Asia, yang umumnya menjunjung tinggi budaya, tradisi, dan agama, 'kumpul kebo' masih dianggap tabu. Jika pun terjadi, praktik ini biasanya berlangsung singkat dan sering kali dianggap sebagai langkah awal menuju pernikahan.

Manado Jadi Lokasi Penelitian: Beban Finansial hingga Penerimaan Sosial

Sebuah studi pada tahun 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa di Indonesia, 'kumpul kebo' lebih banyak terjadi di wilayah Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Baca Juga: Meriah! Ribuan Warga Padati Jalan Sehat Hari Bhayangkara ke-79 Polres Bulukumba, Hadiah Umrah dan Motor Diboyong Pulang!

Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, ada setidaknya tiga alasan utama mengapa pasangan di Manado—yang menjadi lokasi penelitiannya—memilih untuk 'kumpul kebo':

  • Beban finansial: Biaya pernikahan yang tinggi menjadi penghalang.
  • Prosedur perceraian yang rumit: Pasangan cenderung menghindari ikatan formal yang sulit dilepaskan.
  • Penerimaan sosial: Tingkat toleransi masyarakat terhadap praktik ini cenderung lebih tinggi di beberapa wilayah.

"Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi," ungkap Yulinda.

Baca Juga: Siap Saingi Brand Besar, Nokia X800 5G Bawa Teknologi 5G di Harga Terjangkau?

Ia melanjutkan, "Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal."

Dampak Negatif 'Kumpul Kebo' bagi Perempuan dan Anak

Yulinda menegaskan, pihak yang paling terdampak secara negatif dari fenomena 'kumpul kebo' adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi ibu dan anak, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberi dukungan finansial berupa nafkah.

Halaman:

Tags

Terkini