Sulawesinetwork.com - Petani tebu di Indonesia menyampaikan keluhan keras kepada DPR terkait kebijakan impor gula dan etanol yang dinilai tidak terkendali.
Akibatnya, stok hasil panen lokal menumpuk dan tidak terserap pasar.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI), Nur Khabsyin, mengungkapkan stok gula yang belum terjual saat ini sudah mencapai 100 ribu ton.
Kondisi tersebut membuat petani semakin khawatir terhadap masa depan usaha mereka.
Baca Juga: Hadapi Kuwait dan Lebanon, Ini Daftar 27 Pemain Timnas Indonesia
Menurut Nur, masalah ini muncul akibat perubahan regulasi impor melalui Permendag Nomor 16 Tahun 2025 yang menghapus pasal tentang persetujuan impor.
“Dengan aturan baru, pasal 93 tentang persetujuan impor dicabut. Artinya tidak ada lagi rekomendasi dari Kemenperin, tidak ada kuota, dan neraca komoditas juga hilang. Akibatnya, impor berjalan tanpa kontrol,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (20/8/2025).
Padahal, dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024, mekanisme persetujuan impor masih diberlakukan. Karena itu, APTRI mendesak agar aturan terbaru segera direvisi dan dikembalikan ke skema lama yang lebih ketat.
Baca Juga: Kemenhub Siapkan Teknologi Mirip ETLE untuk Pantau Truk Odol, Jembatan Timbang Dihapus
Surplus Produksi Justru Tetap Impor
Nur menyoroti dampak serius kebijakan impor terhadap turunan tebu seperti tetes tebu dan etanol.
Ia mencatat produksi tetes tebu nasional tahun 2024 mencapai 1,6 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri hanya 1,1 juta ton. Artinya, ada surplus sekitar 494 ribu ton yang bahkan diekspor.
“Kalau sudah surplus, mestinya tidak ada alasan untuk impor. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, impor malah dibebaskan. Kami bingung dengan arah kebijakan ini,” tegasnya.
Hal serupa terjadi pada produksi etanol. Kapasitas pabrik dalam negeri mencapai 303 ribu kiloliter, namun realisasi produksi hanya sekitar 160 ribu kiloliter. Penyebabnya, pasar lebih memilih etanol impor yang harganya lebih kompetitif.