Sulawesinetwork.com - Kampus dan politik praktis sering kali menjadi topik yang sensitif. Banyak yang percaya bahwa kampus harus tetap menjadi ruang akademik yang bebas dari kepentingan politik praktis.
Ini berarti pimpinan Universitas, seperti Rektor, harus menjaga netralitas dan tidak menggunakan posisi mereka untuk kepentingan Partai Politik tertentu.
Baca Juga: Kapolres Bulukumba Pimpin Apel Gelar Pasukan Operasi Lilin 2025, Siap Amankan Nataru
Menurut Ketua Aliansi Alumni Pemerhati Universitas Hasanuddin Syahrullah Sanusi. S.Sos., M.Si, "Beberapa alasan mengapa kampus harus bebas dari politik praktis yaitu Kebebasan Akademik. Kampus harus menjadi tempat di mana ide-ide dapat berkembang tanpa tekanan politik. kemudian Integritas Institusi. Keterlibatan politik praktis dapat merusak reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap universitas. Lalu Fokus pada Pendidikan. Pimpinan Universitas harus fokus pada meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian, bukan pada kepentingan politik," ungkap Syahrullah Sanusi saat dijumpai di sebuah Warkop di Makassar. Jumat, 19 Desember 2025.
Hal Topik sensitif tersebut tidak menutup hal bahwa beberapa orang juga berpendapat bahwa akademisi dan kampus dapat berperan dalam politik. Tapi tidak berkomitmen dengan salah satu Partai Politik tertentu.
Baca Juga: Kapolres Bulukumba Pimpin Upacara Peringatan Hari Bela Negara ke-77 Tahun 2025
"Peran Akademisi dan Kampus yang saya maksud disini bahwa akademisi dan kampus dapat berperan dalam politik dengan cara yang konstruktif, seperti Mengkritisi Kebijakan, Akademisi dapat memberikan analisis dan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Kedua, Meningkatkan Kesadaran, Kampus dapat menjadi platform untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu penting, bukan menghalalkan cara dengan berkomitmen membantu kepentingan Partai Politik didunia Kampus seperti isu beredar dalam Pemilihan Rektor Unhas 2022-2026, dimana Prof Jamaluddin Jompa diduga melakukan komitmen tersebut kepada PDI-P," tegasnya.
Ketika kampus terlibat dalam politik praktis, itu bisa sangat menyakitkan bagi civitas akademika. Bayangkan, tempat yang seharusnya menjadi ruang bebas untuk belajar dan berdiskusi, malah menjadi arena pertarungan politik. Ini bisa membuat mahasiswa, dosen, terkhusus seluruh civitas akademika Universitas Hasanuddin merasa tidak nyaman, bahkan tertekan.
Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara ke-77, Pj. Sekda Barru Tegaskan: Bela Negara Bukan Hanya Tugas TNI/Polri
"Beberapa dampaknya bisa berupa Hilangnya kepercayaan, Civitas akademika mungkin kehilangan kepercayaan pada pimpinan Universitas. kedua Gangguan proses belajar, Politik praktis bisa mengganggu proses belajar dan mengajar. Ketiga, Konflik internal, Bisa memicu konflik internal di kalangan mahasiswa, dosen, dan staf," jelasnya
Ia kemudian menyampaikan bahwa apa yang terjadi dari surat komitmen bersama Partai Politik tersebut harus menjadi pelajaran. Baginya ada beberapa Solusi untuk mengatasi politik praktis di kampus yang bisa meliputi beberapa hal.
Baca Juga: Potensi Sulsel Dilirik DKI Jakarta, Gubernur Andi Sudirman Bahas Investasi dan Reformasi Birokrasi
"Solusinya ya ! Netralitas Pimpinan, Pimpinan Universitas harus menjaga netralitas dan tidak menggunakan posisi mereka untuk kepentingan politik. Kebebasan Akademik, Kampus harus menjadi ruang bebas untuk berdiskusi dan berpendapat tanpa tekanan politik. Transparansi, Proses pemilihan pimpinan Universitas harus transparan dan adil. Pendidikan Politik, Memberikan pendidikan politik yang objektif dan kritis kepada mahasiswa. Mekanisme Pengawasan, Membangun mekanisme pengawasan yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan," tutupnya. (*)